FRITHJOF SCHUON: DARI FILSAFAT PERENIAL MENUJU ISLAM SUFISTIK

jatman,fritjhof,schuon,perenial,filsafat,islam,tarekat,syadziliyah,sastra,agama,mwcnu buduran

FRITHJOF SCHUON: DARI FILSAFAT PERENIAL MENUJU ISLAM SUFISTIK

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Bagi Anda yang hobi mengkaji filsafat, metafisika, dan perbandingan agama, tentu mengenal nama Frithjof Schuon. Seorang metafisikawan berdarah Jerman yang terlahir dari keluarga pegiat seni dan sastra dunia Timur serta Eropa pada 18 Juni 1907 di Basel, Swiss. Ketika ayahnya meninggal, ibunya membawanya bermigrasi ke Mulhouse, Perancis dan menjadi warga negara di tempat itu. Di tempat inilah ia menguasai bahasa Jerman dan Perancis dengan lancar, serta makin terpesona dengan dunia metafisika, filsafat, dan spiritualitas agama. Di tempat ini pula ia belajar bahasa Arab di sela-sela rutinitasnya bersekolah. Ia juga mulai bersimpati dengan tokoh agung Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Semenjak kecil Frithjof Schuon gemar menikmati pemikiran metafisika, filsafat, dan ajaran berbagai agama yang tertuliskan dalam narasi sastra. Pemikiran filsafat Platonis menjadi perhatiannya terutama pemikiran Goethe dan Rene Guenon, termasuk Upanishad dan Bhagavad Gita, bahkan kisah Alfu Lailah wa Lailah juga menjadi bacaannya ketika kecil. Bahkan pada usia 16-17 tahun Frithjof Schuon yang tinggal di Perancis sudah berkorespondensi dengan Rene Guenon yang tinggal di Kairo.

Perjalanan hidupnya mewarnai pengembaraan akademis dan spiritualitasnya. Pernah melakukan telaah mendalam serta menyelami kehidupan komunitas Hindu dan Budha, hidup dan mempelajari makna berbagai ritual kebudayaan suku Indian Sioux dan Crow, bersama istrinya bernama Catherin Schuon ia juga pernah ke Maroko, Aljazair, juga Mesir dan mengenal lebih dekat dengan komunitas sufi di beberapa tempat itu. Pengalaman pemikiran dan pengembaraan tersebut direplikasikan dalam berbagai karya berjudul Adastra & Stella Maris; Art from the Sacred to Profane: East and West; The Transfiguration Man; Spiritual Perspectives and Human Fact; The Eye of Heart; Roots of Human Condition; dan berbagai karya lainnya. Pada situs http://www.frithjofschuon.com/ dapat dilihat puluha karya Frithjof Schuon yang ditulisnya sendiri, atau karya orang lain tentang diri atau pemikirannya.

Pemikiran Frithjof Schuon tentang Islam termaktub pada empat karya utamanya berjudul Understanding Islam; Dimentions of Islam; Islam and The Perennial Philosophy; dan The Transcendent Unity of Religions. Buku berjudul Understanding of Islam berisi deskripsi tentang Islam dari sudut pandang “orang luar” yang melihat dan memahami Islam. Buku ini juga menguraikan pemahaman Frithjof Schuon tentang nilai dari ritual dan tradisi Islam dari apa yang diamati dan dipahaminya. Buku berjudul Dimentions of Islam lebih menjelaskan pemahaman Frithjof Schuon tentang dimensi esoteris Islam terkait kosmologi dan dan metafisika Islam. Buku berjudul Islam and The Perennial Philosophy berisi tentang berbagai pemikiran metafisik, teologis, dan sisi eskatologis Islam. Di buku ini Frithjof Schuon menekankan pentingnya aspek doktrin keyakinan dan keabadian dalam tradisi pemikiran Islam sebagai pondasi utama dari nalar eskatologis Islam. Sedangkan buku The Transcendent Unity of Religions merupakan tesis Frithjof Schuon tentang irisan yang mempertemukan agama-agama. Pada buku ini ia menekankan makna, perbedaan, serta bagaimana seharusnya memaknai dimensi esoterik dan eksoterik agama, sehingga terjadi perdamaian universal di tengah umat manusia. Di antara empat buku tersebut, judul terakhir yang –kiranya—menimbulkan kontroversi dan pro-kontra, terutama dalam tema pluralisme. Bagi kelompok fundamental atau radikal –dalam pemikiran dan tradisi agama apapun—biasanya membenci pemikiran Frithjof Schuon di buku ke-empat itu. Namun bagi pegiat pluralisme cenderung menerima gagasan Frithjof Schuon, bahkan Sayyed Hossein Nasr juga bersimpati dengan gagasannya dan sempat mengedit beberapa tulisan tentang Frithjof Schuon.

Sedikit menelisik pemikiran Frithjof Schuon tentang agama dalam bukunya berjudul The Transcendet Unity of Religions. Ia berpendapat bahwa agama memiliki dua dimensi, yaitu eksoterik dan esoterik. Dimensi eksoterik agama adalah produk teks dogmatik, hukum, ritual, dan pemahaman akan keyakinan. Sedangkan dimensi esoterik adalah substansi esensial yang paling mendasar. Aspek eksoterik ibaratnya adalah tubuh jasmani, aspek esoterik adalah ruhani. Pemahaman, pemikiran, dan ekspresi tiap manusia terhadap dimensi esoterik dan eksoterik agama ini berbeda antara satu dengan lainnya. Se-presisi apapun atau se-akurat apapun pemahaman seseorang terhadap aspek esoterik dan eksoterik agama yang dianutnya –menurut Frithjof Schuon—memiliki sisi perbedaan dengan orang lain. Sikap ekstrimis atas pemahaman yang berbeda inilah –masih dalam pemikiran Frithjof Schuon—bila berada dalam konteks eksoterik, akan berpotensi membayakan pada kedamaian hubungan sosial umat beragama –baik antar umat beragama atau intern umat beragama—. Solusi atas potensi radikalisme dan konflik kemanusiaan akibat pemahaman yang berbeda itu –menurut Frithjof Schuon—dapat diminimalisir dengan cara memahami sisi universalitas dari substansi dimensi esoterik agama itu sendiri. Pada titik inilah Frithjof Schuon mendapat celaan dari kelompok fundamentalisme dan radikalisme –dari agama manapun—dan dituduh bahwa ia memiliki misi untuk “menyatukan berbagai agama”, padahal misi pemikirannya adalah mengajak tiap orang yang beragama untuk mencari “titik temu antar agama untuk memperbaiki kualitas keberagamaan yang beragam”.

Epistemologi nalar dalam mencapai kebenaran dalam memahami agama tersebut menurut Frithjof Schuon dapat dicapai dengan tiga pendekatan, yaitu filosofis, teologis, dan metafisik. Pendekatan filosofis mengutamakan kajian yang luas sekaligus mendalam atas ajaran agama tanpa melakukan “gugatan” pada doktrin ketuhanan, pendekatan teologis mengedepankan orientasi pada penguatan pemahaman tauhid yang absah, sedangkan pendekatan metafisik berupaya mendapatkan anugerah kesadaran atau kemengertian atas esensi ilahiyah secara hakiki. Beberapa figur pemikir muslim yang merepresentasikan gagasan Frithjof Schuon seperti Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi yang dikenal dengan pendekatan falsafi dalam membahas metafisika, al-Farabi, al-Kindi, dan Ibnu Sina dengan teori emanasinya, serta al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan teologinya yang dikenal oleh masyarakat muslim tradisional Nusantara dengan rumusan “Aqoid Seket”.

Frithjof Schuon pernah bertemu dengan seorang tokoh bernama Syaikh Ahmad al-‘Alawi, nama lengkapnya adalah Syaikh Ahmad ibn Musthafa al-Mustaghanemi al-‘Alawi, murid dari Syaikh Muhammad al-Buzidi yang merupakan mursyid tarekat Syadziliyah-Darqowiyah. Setelah Syaikh Muhammad al-Buzidi wafat wafat, Syaikh Ahmad al-‘Alawi ditunjuk menggantikan kemursyidan gurunya, lalu tarekat ini diberi tambahan nama menjadi Syadziliyah-Darqowiyah-‘Alawiyah. Salah satu kalimat spiritualnya adalah “Remembrance is the mightiest rule of the religion. The law was not enjoined upon us, neither were the rites of worship ordained, but for the sake of establishing the remembrance of God.” Kira-kira maknanya adalah: “zikir adalah aturan agama yang paling kuat. Hukum tidak diwajibkan atas kita, tidak pula tata cara ditentukan, melainkan untuk meneguhkan zikir pada Tuhan.” Ungkapan Syaikh Ahmad al-‘Alawi ini dicatat oleh Martin Ling’s dalam buku berjudul A Sufi Saint of the Twentieth yang diterbitkan oleh Cambridge tahun 1993. Syahdan, melalui wasilah Syaikh Ahmad al-‘Alawi inilah Frithjof Schuon masuk Islam dan berbaiat menjadi bagian dari tarekat Syadziliyah-Darqwiyah-‘Alawiyah, lalu diberi nama Muhammad Isa Nuruddin –ada yang menyebutkan nama muslimnya adalah Ahmad Isa Nuruddin—. Frithjof Schuon meninggal sebagai muslim pada 5 Mei 1998 dalam usia 90 tahun. Moga Allah Subhanahu wa ta’alaa memberkahi kita semua dengan wasilah tiap tokoh di atas, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.