IRONI APPLAUSE DARI BANGKU VVIP

Oleh: Chabib Musthofa*

 

“I stand here waiting for you to bang the gong

To crash the critic saying, “is it right or is it wrong?”

If only fame had an IV, baby could I bear

Being away from you, I found the vein, put it in here

I live for the applause, applause, applause

I live for the applause-plause, live for the applause-plause

Live for the way that cheer and scream for me

The applause, applause, applause”

 

Susunan kalimat yang Anda baca itu adalah lirik awal lagu berjudul Applause milik Lady Gaga –untuk kemudian disingkan LGG–, penyanyi ditolak ketika akan datang ke Indonesia pada medio tahun 2012 lalu. Meskipun telah mengantongi visa, ternyata ia tak kunjung berhasil datang dan menggelar konser di Indonesia sampai saat ini. Toh nyatanya tanpa kedatangannya pun tiap orang bisa menikmati lagu sekaligus aksi panggungnya walau di layar kaca melalui kemajuan teknologi informasi.

Delapan baris tulisan di atas merupakan bagian lagu tersebut yang dalam perspektif elemen lagu disebut bagian intro, verse, bridge, chorus, tapi belum sampai pada elemen reffrein, walaupun terkesan sudah memiliki elemen interlude dan modulasi atau overtone. Lagu berjudul Applause ini sendiri menurut pengakuan pelantunnya lahir terinspirasi situasi fisik paradoksal yang dialaminya selama beberapa bulan melakukan perjalanan tur. Paling tidak, lacakan digital news menyebutkan bahwa penyanyi yang –konon—dituduh sebagai pemuja setan ini harus tampil manggung dengan gesture atraktif sedangkan pada saat yang sama ia menderita sakit yang luar biasa. Sebuah kondisi yang beresiko antara dua pilihan, yaitu terancamnya keselamatan diri dan meroketnya pendapatan serta popularitas.

Ternyata jawaban problem tersebut ada pada diri LGG sendiri, bukan pada sorak sorai tepuk tangan penonton yang menikmati aksinya. Tepat, pada tepuk tangan penonton itulah seorang LGG mengarahkan fokus dan imunitas dirinya agar dapat melawan penderitaan rasa sakit serta ketakutan kesehatannya terancam. Pada tatapan histeris penonton yang memujanya, mata penuh hasrat yang menelusuri tubuhnya, dan applause ribuan pasang tapak tangan yang menyorakinya. Pada semua itulah ia temukan kekuatan melawan sakit dan cidera yang menyiksanya.

Tulisan ini tidak sedang mengulas sebuah lagu, seorang artis, atau ingin mempromosikan salah satu produk peradaban kemanusiaan dengan narasi yang dipaksakan ilmiah. Atau tidak dalam rangka–untuk sejenak—mencari perhatian Anda dengan segala kesibukan atau rutinitas. Tapi narasi ini hanya ingin menginformasikan bahwa –mungkin kini di tengah-tengah kita—sedang ada beberapa orang –atau kelompok—yang memiliki hubungan relasional ironis sebagai subyek dan obyek. Ada yang –merasa berhak—menertawakan yang lain atau menilai dan merasa dirinya subyek, ada pihak yang ditertawakan atau dinilai dan –diposisikan sebagai—obyek. Padahal sejatinya belum tentu seperti itu. Nah, lagu Applause dipinjam konteks kelahiran historisnya sebagai alat takar komparatif atas fenomena relasional yang ironis tersebut.

Menurut Anda, terciptanya lagu Applause tersebut dalam konteks relasi LGG yang tubuhnya sakit dan penonton yang menyoraki dan membeli tiket konsernya dengan harga mahal, siapa yang sebenarnya menjadi subyek dan obyek? LGG sebagai obyek, penontonnya subyek. Ataukah LGG yang jadi subyek, sedang penontonnya jadi obyek? Jika melihat latar belakang LGG berduet dengan DJ White Shadow menciptakan lagu Applause yang kemudian lagu ini menjadi singgel utamanya dalam album Artpop, maka jawabannya jelas bahwa LGG-lah yang menjadi subyek, penonton dan penggerma berposisi sebagai obyek atau paling tidak hanya sebatas alat untuk melawan sakit yang dideritanya.

Bila Anda orang yang mengidolakan LGG yang berkontribusi atas lahirnya lagu Applause, lantas mengklaim diri Anda subyek penentu pada LGG. Alasannya mungkin karena Anda mengklaim LGG hanyalah obyek fantasi musik semata, atau LGG sebatas pelampiasan hasrat kesenian Anda dalam lagu bergenre itu. Atau Anda mengklaim sebagai pembeli yang kuasa bak raja menikmati “barang” yang dijual LGG. Maka sekali lagi Anda adalah pembual ulung yang sangat ironis, atau orang yang bangga dengan kepandiran karena merasa berhak menikmati, menilai, menghukumi, atau memberikan “tepuk tangan” pada LGG.

Baiklah, cukup bicara tentang LGG. Kini mari kita lihat diri kita lihat fenomena lain. Bayangkan ada pertandingan seru antara dua kesebelasan dalam sebuah stadion yang memiliki tempat regular, VIP, dan VVIP. Dua kesebelasan beradu strategi dan teknik, sedang para pendukung dua kesebelasan hingar-bingar tak karuan memberi dukungan. Bernyanyi, berjoget, bersorak, berteriak, dan mungkin memberi applause. Pertanyaannya, siapa yang menjadi subyek dalam pertandingan itu? Dua kesebelasan yang bertanding, ataukah penonton yang sibuk dengan penilaian dan applause-nya?

Bagi yang menjawab subyeknya adalah penonton, itu hak Anda. Tapi tulisan ini menegaskan bahwa subyek sebenarnya adalah kedua kesebelasan. Alasanya? Pertama, dua kesebelasan yang bertanding, bukan penonton yang hanya memberi applause. Kedua, dua kesebelasan yang ada di dalam arena pertandingan dan berhak berlaga, sedang penonton di luar arena dan tidak berhak berlaga. Ketiga, memasukkan gol atau kemasukan gol adalah hasil kerja pemain, sedang menikmati atau meratapi sebuah gol tanpa usaha merupakan jatah penonton.

Anda yang tetap menjawab bahwa subyeknya adalah penonton, karena mungkin Anda memang hobi sebagai penonton. Tentu itu juga benar, minimal menurut pendapat Anda sebagai penonton. Tapi di akhir, izinkan tulisan ini mengingatkan bahwa sorakan dan applause penonton tidak pernah bisa membuat gol, karena hanya pemain yang bisa menciptakan gol.

Jika Anda masih ngeyel dengan berargumen bahwa penonton adalah subyek utama karena mampu merubah pertandingan. Penonton memang tidak bisa menciptakan gol, tapi penonton –terutama yang biasa memilih duduk di tempat VVIP—bisa membeli pemain, wasit, dan menentukan hasil sebuah pertandingan. Buktinya, dengan cara menyuap wasit atau menyuap pemain demi agar dapat mempengaruhi hasil pertandingan agar sesuai dengan keinginan Anda. Maka –usul saya—Anda perlu segera bangun dan menyadari siapa sebenarnya diri Anda. Atau perlu segera memeriksakan diri ke ahli syaraf atau psikiater agar selamat dari ironi dan ilusi diri Anda sendiri. Jangan-jangan sejatinya Anda bukan penonton, wasit, pelatih, apalagi pemain, tapi hanyalah penjudi. Karena hanya penjudi yang sanggup mempertaruhkan nasib dirinya dan orang lain demi sesuatu yang tidak jelas meskipun dianggapnya menyenangkan. Di mana ironisnya? Sisi ironisnya terletak pada paradoknya tindakan dan kesadarannya sebagai penjudi, –eh maaf—penonton yang duduk di bangku VVIP tersebut. Prestasinya hanyalah sebagai penonton yang applause, tapi kesadarannya merasa sebagai subyek. Sama dengan Anda katakan, “gol itu terjadi dan kesebelasan itu menang –atau kalah—karena applause-ku.” Anda sehat?

Tapi sebentar, adakah hobi atau tradisi “applause” dan “duduk di bangku VVIP” diajarkan atau diwariskan di organisasi ini? Agaknya tidak ada. Berarti semua narasi dalam sepuluh paragraf di atas mungkin hanya kisah di desa Konoha, bukan terjadi di antara kita. Wallahu a’lam.

 

* Penulis adalah A’wan MWCNU Buduran dan Ketua ISHARI NU Banjarkemantren