KEMUNING

kemuning,jambu darsono,kepel,sawo kecik,Diponegoro,perjuangan,Santri,Kyai,mwcnu buduran

KEMUNING

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Mulai tiga hari yang lalu, area tempat tinggal kami dihiasi dengan aroma wangi yang khas dari kembang kemuning. Di depan rumah, tepat di samping jendela sisi utara musholla al-Hidayah memang tertanam pohon kemuning sejak medio tahun 2007, setahun setelah puteri pertama lahir. Di tempat kami, pohon ini termasuk “senior” dibanding dengan tanaman lain seperti belimbing, wijaya kusuma, anggrek, kenanga, zaitun, tin, dan melati. Sebelumnya, ada sawo kecik dan belimbing wuluh yang lebih dulu harus ditebang tanpa konfirmasi dan persetujuan sebelumnya karena alasan mistik –yang katanya entah dari masa sumbernya diklaim—sebagai tempat tinggal makhluk halus. Waktu penebangan sawo kecik dan belimbing wuluh yang batang pohonnya berdiameter 50 cm dan berlubang tengah itu, spontanitas saya matur pada yang menebang, “bila dua pohon ini ditebang karena dianggap jadi tempat tinggal makhluk halus, nanti setelah ditebang makhluk halusnya pindah ke mana?” Tiada jawaban memuaskan, hanya kalimat “pokoknya harus ditebang agar makhluk halus yang menempati sawo kecik dan belimbing wuluh itu tidak mengganggu keluargamu, terutama anakmu yang dari kecil sering melihat penampakan.” Sebagai pemula dan junior dalam bidang membangun biduk rumah tangga, waktu itu saya ho-oh saja, apalagi menyadari posisi diri yang hanya sebatas penumpang dalam jagat dunia pewayangan kemanusiaan di Buduran. Tak kalah akal, tidak lama berselang dari penebangan sawo kecik dan belimbing wuluh itu, saya tanam dua pohon lain yang dianggap tak kalah “keramat”, yaitu kemuning dan cempaka atau biasa disebut kantil. Naas bagi pohon kembang kantil kuning gading, tanaman ini mati. Setelah dilakukan penyelidikan, penyidikan mendalam, dan pengawasan 2 kali 24 jam, ternyata pangkal batang dan akarnya menjadi sasaran ketamakan tikus-tikus yang berminat menjadi “khadam” di sekitar kediaman kami. Sedangkan untuk kemuning, ia tumbuh subur dan sehat walau telah mengalami beberapa kali pemangkasan –tanpa sepengetahuan–, dan misi penebangan yang penuh kerahasiaan. Ketika kemarau, burung emprit, cendet, dan terucuk biasa bermain-main di ruas-ruas rantingnya. Belakangan tampak ada manyar, emprit kaji, dan perkutut juga ikut meramaikan suasana.

 

Kemuning Dalam Berbagai Tinjauan

Bila Anda browsing tentang sejarah pohon kemuning, Anda akan menemukan sekian asupan informasi tentang pohon dengan kembang yang wanginya khas ini. Secara historis ada yang menginformasikan bahwa tanaman yang secara biologis bernama Murayya Paniculata ini berasal dari India yang kemudian tersebar ke berbagai wilayah, termasuk Nusantara. Bila membaca beberapa hasil riset ilmiah dari ilmuwan biologi kesehatan yang khusus mengkaji tanaman, ditemukan banyak laporan penelitian atau tulisan jurnal yang mendeskripsikan manfaat pohon kemuning bagi kesehatan, baik dari bunga, daun, dan bijinya. Bahkan, pohon kemuning ini telah ditahbiskan menjadi satu dari 30 jenis tanaman obat yang kini mengalami kelangkaan.

Jika menilik dongeng atau dari kajian ilmiah yang disebut dengan disiplin folklore, ditemukan berbagai cerita rakyat tentang asal muasal pohon kemuning. Ada yang menceritakan bahwa tanaman ini berasal dari salah seorang puteri yang memiliki 10 saudara dengan nama-nama warna. Oleh sebab sebuah lakon yang harus dijalaninya, maka pengorbanan puteri yang bernama kemuning ini menjelma menjadi tanaman yang di kemudian hari disebut kemuning. Di Nusantara, pohon ini memiliki sebutan berbeda, walau agak mirip. Di Sunda disebut kamuning, di Madura disebut kamoneng, di Ambon disebut kamoni, di pulau Buru disebut kamone, di Minangkabau disebut kemunieng, di Bima disebut kemuni, di Makassar disebut kamuning, dan banyak lagi sebutan lainnya.

Secara eksoterik, ada yang menganggap kemuning sebagai simbol kebaikan dan kesucian. Kebaikan dan kesucian itu direpresentasikan oleh bunganya yang indah dan terutama kewangian bunganya yang memang memiliki kekhasan dibanding dengan bunga-bunga lainnya. Di berbagai ritual kebudayaan, kembang kemuning memiliki tempat dan perannya. Misalnya, sebagai bahan baku lulur para calon kemanten, dan dipakai sebagai bahan baku jamu tradisional. Sebelum kajian ilmiah menemukan bahwa tanaman ini secara farmakologis berkhasiat sebagai pemati rasa, pelancar peredaran darah, penghilang bengkak, anti radang, anti rematik, antipiretik, dan antitiroid, masyarakat Nusantara telah terbiasa memanfaatkannya sebagai jamu. Bahkan, sampai kini kemuning menjadi salah satu “tanaman wajib” yang menghiasi keraton Yogyakarta, bahkan dengan aturan penempatan yang lebih detail dengan muatan-muatan makna filosofis tertentu.

Bagi pemerhati dan pemelihara kepusakaan serta tosan aji, tanaman kemuning memiliki tempatnya tersendiri. Kayu pohon kemuning menjadi salah satu bahan baku favorit bagi warangka sebuah pusaka. Keunggulannya adalah mudah dibentuk, wangi, dan mampu menampilkan keindahan tersendiri dengan warnanya yang kuning langsat. Bahkan ada beberapa pusaka yang –menurut pakem sebaiknya—menggunakan kayu kemuning sebagai warangka, landeyan, pendok, atau deder pusaka. Oleh karena itulah para empu, pandhe, pemilik pusaka, dan mranggi (pengrajin warangka, landeyan, pendok, dan deder pusaka) sangat menghargai kayu pohon kemuning.

Terkait daya magis-spiritual –dan bahkan mistik—dari kemuning, tidak/belum ditemukan pijakan kuat yang layak dijadikan dasar argumentasi nalar atau tindakan, kecuali bagi mereka yang memang menahbiskan dirinya sebagai penghobi dunia klenik yang selalu memaknai sesuatu secara mistikifatif. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kemuning memiliki daya magis-spiritual tertentu. Karena memang Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak pernah sia-sia menciptakan segala sesuatu, termasuk tanaman kemuning.

 

Kemuning Sebagai Sandi Perjuangan

Ketika membaca beberapa kajian tentang Pangeran Diponegoro, terutama era setelah beliau tertawan di karesidenan Kedu Magelang di tahun 1930 dan diasingkan ke Manado lalu selanjutnya dipindah ke Makassar, akan dijumpai beberapa informasi tentang peran kemuning. Setelah mengikuti Pangeran Diporengoro berperang antara tahun 1825-1830 –yang masyhur disebut Perang Jawa yang mampu menjadikan VOC pailit—, para pengikut dan pasukan Pangeran Diponegoro diperintahkan untuk terus melanjutkan peperangan melawan penjajahan di bumi Nusantara. Namun perlawanan itu bukan dengan menggunakan cara peperangan fisik, tapi melalui perang kebudayaan melalui ilmu pengetahuan. Lasykar yang kebanyakan kalangan bangsawan dan santri itu kemudian menyebar membaurkan diri di tengah masyarakat lalu mendirikan langgar, masjid, dan pesantren. Mereka juga berganti nama dengan sebutan-sebutan baru untuk menyamarkan diri sembari menata ulang kelompok-kelompok sosial di sekitarnya menjadi komunitas yang solid dengan basis amaliyah dan tarbiyah Islam yang terpadukan dalam sistem pendidikan pesantren. Sistem pendidikan yang telah dikenalkan oleh generasi penyebar Islam sebelumnya. Berkah pergantian staregi dan metode perjuangan ini kemudian memunculkan berbagai pesantren dan ulama pejuang yang saling berjejaring, termasuk para ulama yang membidani kelahiran Nahdlatul Ulama (NU).

Pangeran Diponegoro sendiri dikabarkan oleh beberapa peneliti –Peter Carey misalnya—dilaporkan merupakan sosok yang tidak pernah lepas dari al-Quran, kitab kuning, dan tasbih. Artinya, tokoh yang bernama lain Raden Mas Ontowiryo ini merupakan sosok yang sangat erat dengan al-Quran, juga sebagai ahli zikir dan pengamal tarekat yang ditunjukkan dengan tasbih, dan sekaligus sosok ulama yang dibuktikan dengan kitab kuning yang menyertai tiap langkahnya. Terkait tarekatnya Pangeran Diponegoro, ada yang mengatakan beliau guru tarekat Qodiriyah, dan ada yang mengatakan beliau pengikut tarekat Syathoriyah. Tentang kitab kuning yang selalu menyertainya, disebutkan adalah al-Ghoyah wa al-Taqrib dari al-Imam Abu Syuja’ (al-Imam Syihabu al-Dunya wa al-Din Ahmad bin Husain bin Ahmad al-Isfahani al-Syafii) yang wafat tahun 593 H dalam usia 160 tahun dan dimakamkan di dekat Bab Jibril (tempat di masjid Nabawi yang pernah didatangi Jibril) dan kepala beliau berdekatan dengan hujroh Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Walau meninggal dalam usia yang sangat panjang, tidak satupun anggota tubuhnya mengalami cacat atau sakit. Bermadzhab Syafii dan pernah menjabat menteri dinasti Banu Saljuk. Meskipun sebagai pejabat, beliau memakmurkan waktu sebelum shalat dengan membaca al-Quran. Di akhir-akhir kehidupannya, beliau tinggalkan harta, ketenaran, dan pengaruhnya, kemudian hijrah ke Madinah al-Munawwaroh, lalu menghiasi hidup dengan beribadah dan nasyru al-ilm. Istimewanya, khususiyah beliau di tempat ini adalah rutin menyapu, menggelar tikar, dan menghidupkan lampu-lampu masjid Nabawi sampai wafat.

Kembali pada penyebaran pasukan perang Pangeran Diponegoro pasca Perang Jawa. Sebagai bagian dari perjuangan melawan kebatilan, strategi perang “gaya baru” itu dipersiapkan oleh para pengikut Pangeran Diponegoro dengan matang, massif, senyap, dan penuh penyamaran, tanpa kehilangan jaringan komunikasi antara satu dengan lainnya. Secara fisik, Perang Jawa telah usai, tapi secara psikhis belum usai karena penjajahan dan segala akibatnya masih mengancam Nusantara. Maka dibuatlah sistem sandiyuga oleh eks pasukan Pangeran Diponegoro ini untuk menjaga jejaring dari entitas dan perjuangan mereka di masa-masa berikutnya. Di antara sandi-sandi tersebut adalah adanya tanaman tertentu di tempat tinggal baru dari anggota pasukan tersebut. Tanaman itu adalah sawo kecik, kepel, kemuning, dan jambu darsono.

Berdasarkan pengalaman lahir dan dibesarkan di Sepanjang, pada tahun 80-an sampai 90-an masih kami jumpai pohon-pohon itu –terutama sawo kecik—di sekitar dua destinasi simpul ke-ulama-an, yaitu Ngelom dan Tawangsari. Pada tahun-tahun itu masih bisa dijumpai sawo kecik di beberapa halaman ndalem para kyai di Ngelom, begitu juga di Tawangsari –yang kalau tidak salah—ada pohon sawo kecik di timur aula masjid tepat di utara sungai. Apalagi bila jumatan di Tawangsari dan pulang lewat jalan dalam yang tembus ke maqbarah dusun Megare, banyak ditemukan pohon sawo kecik. Bahkan lamat-lamat dalam ingatan kami juga pernah mendengar perbincangan para sesepuh tentang sawo kecik itu sebenarnya tanda bahwa Tawangsari dan Ngelom memiliki kaitan dengan gerakan Pangeran Diponegoro. Sawo kecik itu sendiri menjadi simbol dari adagiumshowwu shufufakum li iqomati al-sholah” (rapatkan barisanmu untuk mendirikan shalat). Keberadaan sawo kecik ini cocok dengan fakta historis bahwa salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yaitu KH. Wahab Chasbullah memiliki warisan darah dari Tawangsari karena ibu beliau Nyai Lathifah merupakan puteri dari pasangan Nyai Sumilah dan KH. Raden Mas Abdul Wahab (pendiri pesantren al-Badri) bin Raden Mas Abdullah Joyorogo (Abdullah Sepuh). Nyai Lathifah sendiri bersaudara dengan KH. RM. Ali (pengasuh pesantren al-Badri setelah KH. RM Abdul Wahab) dan KH. RM. Abdullah Anom (pengawas pesantren al-Badri). Sejarah NU mencatat bahwa pada masa awal berdirinya, KH. Wahab Chasbullah sering sowan KH. RM Ali di Tawangsari dan mengaji kitab al-Iqna’ di tengah agenda-agenda konsolidasinya di Surabaya. Melihat relasi para tokoh itu dengan adanya pohon sawo kecik, cukup menjadi dasar kesimpulan –minimal hipotesis—bahwa Ngelom dan Tawangsari kemungkinan besar menjadi destinasi penyebaran eks pasukan Pangeran Diponegoro yang berkahnya melahirkan para tokoh pejuang dan pendiri NU.

Terkait sandi dengan menggunakan pohon, ada posisi tanam sebagai rumus memahami sandi tersebut. Sawo kecik ditanam di depan rumah sebagai simbolisasi makna “kabecikan” (kebaikan), tanda bahwa penghuninya mengharapkan kebaikan dan kebenaran. Pohon kepel ditanam di belakang rumah sebagai lambing “manunggaling sedya lan gegayuhan”, perlambang dari adanya upaya yang kuat untuk meraih mimpi dan cita-cita. Pohon jambu darsono ditanam di sebelah kanan simbolisasi “patuladhan”, perlambang bahwa yang menempati rumah harus mampu menjadi teladan bagi lingkungan sekitarnya. Terakhir, pohon kemuning ditanam di sisi kiri rumah melambangkan “weninging pikir”, makna dari simbol bahwa yang menempati rumah itu memiliki –atau harus berupaya—mencapai ketengan jiwa yang hakiki dalam tiap kondisi dan situasi.

Wal hasil. Mungkin di antara kita ada yang merasa tidak perlu menamam empat pohon yang menjadi sandi dari eks pasukan Pangeran Diponegoro itu, walau menamamnya juga bukanlah dosa. Minimal yang terpenting adalah, bila sudah memiliki empat tanaman itu maka jaga dan rawatlah sebagai bentuk syukur dan kesadaran ekologis. Menanam empat pohon itu di kantor NU memang tidak wajib, walau juga diperbolehkan dan tidak dilarang, apalagi sebagai tadzkirah. Urgen –bagi kita para pengurus, aktifis, dan warga NU—untuk terus merawat semangat perjuangan sejalan dengan misi al-ilmiyah wa al-tsaqofah pasukan Pangeran Diponegoro yang segaris darah dengan perjuangan NU. Lebih penting adalah mentradisikan untuk berkarakter “kabecikan”, “manunggaling sedya lan gegayuhan”, “patuladhan”, dan “weninging pikir” dalam berkhidmah di pesantren besar yang dinamakan NU. Berwasilah pada para tokoh di atas, Ya Allah mohon karuniakan keselamatan, kesehatan, kemanfaatan, keberkahan, dan kecukupan pada kami dalam berkhidmah di NU. Al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.