MENGENAL SYAIKH AL-ISYRAQ SUHRAWARDI AL-MAQTUL (Bagian 1)

suhrawardi,al-maqtul,iluminasi,syihabuddin,al-isyraq,filsafat,tasawuf,al-ghazali,cahaya,haqqu al-yaqin,cermin,pantulan

MENGENAL SYAIKH AL-ISYRAQ SUHRAWARDI AL-MAQTUL (Bagian 1)

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyah Buduran

 

Khazanah ilmu pengetahuan Islam paling tidak dihiasi dengan tiga nama Suhrawardi. Ada yang disebut dengan Suhrawardi al-Maqtul, nama lengkapnya Syihabuddin Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak al-Suhrawardi, lahir di Suhraward Iran pada tahun 1153 M dan meninggal di Aleppo Suriah pada tahun 1191 dalam usia 36 tahun. Tokoh ini meninggal karena dibunuh, sehingga belakangan lebih dikenal dengan sebutan Suhrawardi al-Maqtul. Tokoh inilah yang menjadi fokus kajian dalam tulisan ini. Berikutnya ada nama Abdu al-Qahir Abu Najib al-Suhrawardi, wafat tahun 1168 M, penulis kitab Adab al-Muridiin. Lalu Abu Hafs Umar Syihabuddin al-Suhrawardi al-Baghdadi, penulis kitab ‘Awarif al-Ma’arif.

Suhrawardi al-Maqtul merupakan sahabat dekat dari penguasa Aleppo al-Malik al-Zahir yang merupakan putera dari Sultan Salalahuddin al-Ayyubi. Persahabatan ini terjadi mulai keduanya remaja sampai pada usia produktif, walau keduanya menempuh jalan berbeda. Bila al-Malik al-Zahir di samping terdidik juga harus menjalani kehidupan sebagai penguasa, maka Suhrawardi al-Maqtul dikenal sebagai filosof falsafi yang nasibnya berakhir dengan eksekusi mati karena pemikirannya dianggap bertentangan dengan tradisi pemikiran Sunni kala itu. Disebutkan pada usia relatif muda, Surahwardi al-Maqtul memiliki lebih duapuluh karya, namun di antara kesemua itu ada empat karya yang menjadi monumen pokok dari pemikirannya, yaitu: al-Talwihat, al-Muqawamat, al-Mashari wa Muthaharat, dan Hikmat al-Isyraq. Suhrawardi al-Maqtul disebut dengan Syaikh al-Isyraq karena pemikirannya tentang teori pengetahuan isyraqiyah (iluminasi), atau yang biasa dikenal dengan teori pancaran cahaya.

Al-Talwihat berisi gagasannya tentang konsep ilmu pengetahuan sekaligus kritikannya terhadap aliran peripatos, peripatetisme, atau peripatetik yang lebih mendasarkan pencapaian kebenaran hanya pada kebenaran akal rasional semata. Al-Talwihat ini pernah dikomentari oleh Ibnu Kammuna sehingga melahirkan buku berjudul al-Tanqihat fi Syarh al-Talwihat. Al-Muqawamat memuat beberapa istilah teknis dalam kerangka berpikir filsafat isyraqiyah dengan lebih spesifik, terperinci, dan komprehensif. Al-Mashari wa Muthaharat mengulas tentang pendapat subyektif Suhrawardi tentang kerangka bangunan pemikiran filsafat yang seharusnya. Sedangkan Hikmat al-Isyraq mengetengahkan pembahasan tentang tiga subyek yang mendasari pemikiran filsafat isyraqiyah Suhrawardi al-Maqtul.

 

Pengetahuan al-Haqqu al-Yaqin

Salah satu kritik tajam Suhrawardi al-Maqtul adalah pada cara berpikir peripatetik yang dirujukkan pada Aristoteles. Berpikir peripatetik mendasarkan kebenaran ilmu pengetahuan pada adanya bukti empiris dan rasionalitas akal. Fakta dan bukti empiris yang menjadi asupan informasi untuk indera, dipadu dengan kerja nalar dari akal sehat menjadi dua bahan baku manusia dalam menemukan kebenaran. Maka standar kebenaran pemikiran manusia tercapai ketika didukung dengan fakta-fakta empiris yang dapat dibuktikan secara umum, dan argumentasi nalar rasional yang sesuai dengan kaidah kebenaran logis.

Pendapat inilah yang dikritik oleh Suhrawardi al-Maqtul. Ia memulai kritik dengan menunjukkan kelemahan pendapat peripatetik ini. Ketika ada pelangi, maka pendar aneka warnanya dapat dilihat dan dibuktikan oleh mata manusia. Bahwa secara empiris mata manusia membuktikan kebenaran adanya pelangi. Namun ketika mendatangi tempat terjadinya atau adanya pelangi itu, ternyata pelangi tidak ditemukan. Sama ketika melihat warna langit dan gunung daerah tropis di siang hari yang biru, mata empiris membuktikan kebenaran warna biru langit dan biru gunung itu. Tapi ketika terbang menuju langit atau diri sudah berada di lereng gunung yang tadinya dipandang, maka warna warna biru tidak ditemukan. Artinya, kebenaran empiris warna pelangi dan warna biru langit serta biru gunung yang diterima mata merupakan kebenaran semu yang tidak hakiki. Bila kebenaran semacam ini yang kemudian diolah oleh nalar, maka bagaimanapun ketat kaidah dan metode berpikir ilmiahnya, akan melahirkan kesimpulan yang kebenarannya semu, tidak kebenaran hakiki.

Kritik Suhrawardi a-Maqtul atas empirisme dan rasionalisme inilah yang kemudian diiringi dengan usulannya bahwa kebenaran tertinggi adalah kebenaran yang didasarkan pada kesadaran instingtif, kesadaran naluriah, atau kesadaran ilhamiyah. Pengetahuan ini disebut Suhrawardi al-Maqtul dengan pengetahuan haqqu al-yaqin. Pengetahuan yang dialami langsung (knowledge by presence). Kebenaran pengetahuan haqqu al-yaqin dalam pandangan Suhrawardi al-Maqtul adalah kebenaran pengetahuan yang tidak diafirmasi sepenuhnya oleh fakta dan data dari luar diri manusia. Akan tetapi kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang mengalami dan mendapat konfirmasi dari dalam diri manusia itu sendiri. Konfirmasi kebenaran dalam diri ini terjadi ketika manusia itu mengalami, merasakan, memikirkan, dan menemukan kesimpulan atas kebenaran tersebut. Pada kasus pembuktian kebenaran pelangi, birunya langit, dan birunya gunung, semua itu dianggap Suhrawardi al-Maqtul sebagai kebenaran yang lemah dan tidak membantu manusia menemukan pengetahuan yang benar. Eksistensi pelangi, birunya langit dan birunya gunung tidak terkonfirmasi oleh pengalaman dan insting in-personal ketika orang yang membuktikan ketiga fakta itu berada di tempat terjadinya fakta. Maka, metode terabsah untuk membuktikan kebenaran ketiga fakta itu adalah dengan memperkuat kesadaran dalam diri sendiri.

Ilustrasinya, orang bisa mempelajari berbagai informasi, hukum, kasus, teks, dan pengetahuan tentang pernikahan, tapi ia belum pernah menikah. Orang ini mungkin bisa secara fasih berorasi tentang pernikahan. Tapi tentu pengetahuan orang semacam ini tidak lebih benar dibanding dengan orang yang sudah menikah. Perbedaannya, ahli pernikahan yang belum menikah memiliki pengetahuan yang tidak terkonfirmasi kebenarannya dalam sistem kesadaran personalnya, sedangkan orang yang tidak ahli pernikahan tapi sudah menikah memiliki pengetahuan tentang pernikahan yang sudah terkonfirmasi kebenarannya dengan sistem kesadaran personalnya dari aspek akal, perasaan, dan tingkah lakunya dalam pernikahan.

 

Tiga Klasifikasi Pencari Kebenaran

Suhrawardi al-Maqtul mengkategorikan pencari kebenaran ke dalam tiga jenis. Pertama, orang yang diberi kemampuan menemukan kebenaran hakiki dari dan dengan dirinya sendiri, namun ia tidak mampu menyampaikan kebenaran itu pada orang lain. Kebenaran itu hanya ada pada perilakunya secara otentik, hanya untuk dirinya sendiri, tapi tidak untuk orang lain. Jenis pertama ini disebut dengan pelaku kebenaran. Kedua, orang yang mendapatkan kebenaran dari berbagai sumber dari luar dirinya, dipadu dengan nalar sehat, rasional, dan sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir benar, namun ia tidak memiliki pengalaman in-personal untuk merasakan dan membuktikan kebenaran tersebut. Sehingga kebenaran pengetahuan yang dimilikinya bersifat demonstratif, atraktif, dan hanya berada di retorika atau tulisan, tapi tidak dalam perilakunya. Jenis kedua ini disebut penjelas kebenaran. Ketiga, orang diberi kemampuan menemukan kebenaran dari pengalaman in-personal yang otentik, sekaligus berkemampuan bernalar dan berkomunikasi secara diskursif sehingga mampu menyampaikan kebenaran tersebut pada pihak lain. Jenis ketiga ini disebut pelaku dan penjelas kebenaran.

Ketiga jenis kategori pencari kebenaran ini memiliki tempatnya masing-masing. Semuanya menyandang kebenaran sesuai dengan kedudukannya, walau menurut Suhrawardi al-Maqtul, yang paling bermanfaat dalam bingkai peradaban manusia adalah jenis yang ketiga karena jenis ini diberi kemampuan “memproduksi” sekaligus “menyampaikan” pengetahuan pada manusia lain. Sehingga ilmu pengetahuan yang benar memiliki jaminan keberlangsungan di tengah umat manusia.

 

Kategori dan Cara Kerja Cahaya

Pondasi filsafat iluminasi Shurawardi al-Maqtul adalah QS. Al-Nur ayat 35. Allah subhanahu wa ta’ala menurutnya adalah al-Nur (Maha Cahaya) yang tidak membutuhkan sebab akibat dan media atas ke-Maha-anNya. Sebaliknya, Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Nur al-Anwar (Cahayanya segala cahaya). Cahaya Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Nur al-Haq (Maha Cahaya lagi Maha Benar), Maha Cahaya yang Maha Benar dan Maha Benar yang Maha Cahaya. Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Cahaya menjadi sebab dan sumber dari segala sesuatu yang bersinar di semesta. Deskripsi Maha Cahaya Allah subhanahu wa ta’ala tidak dapat digambarkan dan diibaratkan oleh akal-budi tertinggi manusia, tapi akal-budi diberi kemampuan mengerti dan mengenali Maha Cahaya Allah subhanahu wa ta’ala. Kemampuan akal-budi manusia untuk mengerti dan mengenali Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Cahaya bukan sebab kekuatan manusia, namun Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Cahaya yang mengizinkan, merahmati, dan memberikan kemampuan pada manusia –beserta makhluk lain—mengerti serta mengenaliNya. Mekanismenya adalah dengan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pancaran Cahaya-Nya pada tiap makhluknya. Anugerah cahaya yang dipancarkan Allah subhanahu wa ta’ala pada makhluknya inilah yang oleh Suhrawardi al-Maqtul disebut dengan anugerah atau rahmat. Tentu porsi dan komposisi pancaran anugerah serta rahmat Allah subhanahu wa ta’ala pada makhluknya tersebut berada dalam otoritas absolut Allah subhanahu wa ta’ala sendiri. Maka menurut Suhrawardi al-Maqtul, tiap makhluk menerima limpahan cahaya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Dan makhluk yang mendapatkan anugerah porsi cahaya rahmat yang paling besar adalah Baginda Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.

Suhrawardi al-Maqtul membagi cahaya menjadi dua kategori, yaitu al-Nur al-Ghoniyyu (Cahaya yang Kaya) dan al-nur al-faqiru (cahaya yang fakir). Al-Nur al-Ghoniyyu adalah cahaya yang tidak membutuhkan yang lainnya, dia absolut, terbenar, mutlak, mandiri, kekal, mulia, dan berkuasa atas al-nur al-faqiru. Al-Nur al-Ghoniyyu ini disebut al-Nur al-Haq (Cahaya yang Maha Benar). Menurut Suhrawardi al-Maqtul, al-Nur al-Ghoniyyu ini disebut juga al-Nur al-Anwar yang meliputi Asma al-Husna seperti al-Nur al-Muhith, al-Nur al-Qayyum, al-Nur al-A’dham, al-Nur al-A’la, al-Nur al-Qahhar. Sedangkan al-nur al-faqiru (cahaya yang fakir) adalah pantulan dari al-Nur al-Ghoniyyu. Al-Nur al-faqiru statusnya membutuhkan, tergantung, terikat, terkuasai, dan menghamba pada al-Nur al-Ghoniyyu. Cahaya fakir akan bersinar ketika dirinya menjalankan status ke-fakiran-nya di hadapan al-Nur al-Ghoniyyu. Pada saat itulah cahaya fakir menyerap rahmat Maha Cahaya yang Maha Kaya sekaligus menjadi pemantul Cahaya Ilahiyah tersebut pada cahaya fakir lainnya. Di antara yang disebut cahaya fakir adalah akal-budi, dimensi batin, jiwa, jism, dan diri manusia.

Sederhananya, ketika akal-budi, jiwa, insting, dan jasmani manusia berada pada posisi penghambaan pada Allah subhanahu wa ta’ala, maka pada dimensi itulah manusia menjadi “cermin bening” yang mampu menerima cahaya rahmat cahaya Allah subhanahu wa ta’ala pada dirinya sendiri, sekaligus ia menjadi pemantul cahaya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala pada makhluk lain di luar dirinya. Tingkat dan derajat penghambaan manusia ini tentu berbeda-beda, dan di antara itu semua, Baginda Nabi Muhammad g berada pada puncak dengan mutu penghambaan terbaik dan merupakan pimpinan dari semua al-nur al-faqiru. Sehingga Beliau shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam adalah penerima terbesar dari pancaran cahaya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala sekaligus menjadi cermin pemantul terbening dari cahaya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebagai rahmatan li al-‘alamin.

 

Irisan dalam Bingkai Tasawuf

Maka tiga ulasan di atas belum mewakili seluruh gagasan dari Suhrawardi al-Maqtul. Di akhir, marilah kita tempatkan tiga gagasan di atas dalam bingkai perspektif tasawuf. Bila tasawuf dipahami dengan pemaknaan yang diajukan al-Hujjatu al-Islam al-Imam al-Ghazali dilam kitab Ayyuha al-Walad yaitu “anna al-tashowwufu khaslatani: al-istiqamah ma’allahi ta’ala wa al-sukunu ‘ani al-khalqi [tasawuf itu memiliki dua bagian: istiqamah bersama Allah subhanahu wa ta’ala dan harmonis atas makhluk]”, maka didapatkan gambaran atas pemikiran Suhrawardi al-Maqtul sebagai berikut. Pertama, istiqomah beribadah pada Allah subhanahu wa ta’ala dan berinteraksi harmonis dengan makhluk dengan basis pengetahuan yang berkategori al-haqqu al-yaqin. Kedua, istiqomah beribadah pada Allah subhanahu wa ta’ala dan berinteraksi harmonis pada sesama makhluk dengan maqam sebagai pelaku, penjelas, atau pelaku-penjelas ilmu pengetahuan yang benar. Ketiga, istiqomah beribadah pada Allah subhanahu wa ta’ala dan berinteraksi harmonis pada makhluk seraya terus memperbaiki kualitas al-nur al-faqiru sehingga menjadi penerima sekaligus pemantul cahaya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebelum bersambung pada sesi kedua, kita berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan berkah Baginda Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Suhrawardi al-Maqtul, dan para ulama NU, semoga kita dikaruniai al-haqqa al-yaqin dan kepribadian layaknya cermin bening yang istiqamah ma’allahi serta al-sukunu ‘ani al-khalqi, al-Fatihah. Wallahu a’lam bishshawab.