
BANJARKEMANTREN. Romadlon menjadi bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam oleh sebab banyak disebutkan berbagai macam keunggulan bulan tersebut. Keistimewaan romadlon ini menjadi semangat peribadatan yang oleh para ulama penyebar Islam generasi pendahulu di Nusantara diekstraksi dan diinfiltrasikan dalam budaya masyarakat melalui beragam ekspresi. Salah satunya misalnya adalah tradisi buka puasa, yang di sebagian negara kini marak disebut dengan istilah ifthar. Buka puasa menjadi bukan sebatas ibadah personal, tapi kini menjadi ritual sosial yang mentradisi.
Merujuk hadits yang dikabarkan oleh Zaid bin Khalid al-Juhani yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wa aalihi wa sallam bersabda: “Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga”. Hadits ini dapat dilihat dalam kitab Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, dan Musnad Ahmad ibn Hanbal. Nilai hadits ini adalah bersedekah dengan memberikan makanan –dalam hal ini untuk berbuka—pada mereka yang berpuasa. Kiranya saat ini tak sulit kita jumpai banyak orang di segala jenis lapisan sosial yang mengadakan acara buka puasa bersama, bahkan di pinggir jalan menjelang waktu maghrib sering terlihat orang menyedekahkan makanan untuk siapapun sebagai ifthar puasa.
Hal ini juga menjadi tradisi sosial baru di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU). Warga nahdliyyin mengemas acara buka puasa bukan hanya sebatas berkumpul dan makan-makan, tapi ada semacam majelis ta’lim atau dzikir. Seperti yang dilakukan oleh jamaah masjid Baiturrohim Banjarkemantren pada Ahad (24/03/24) dengan mengadakan pengajian kitab rutin yang diasuh oleh KH. Chusnul Waro menjelang waktu maghrib dan diadakan juga buka puasa bersama para jamaah.
Sebenarnya kegiatan ini merupakan pengajian rutin yang pada bulan di luar romadlon dilaksanakan tiap hari Senin malam Selasa pada saat antara maghrib dan isya yang diasuh oleh Rois Syuriyah MWCNU Buduran tersebut. Namun ketika bulan romadlon pengajian kitab Nashoihul Ibad itu digeser pada saat menjelang masuknya waktu maghrib. Untuk buka puasa itu sendiri, saat itu ditempatkan di rumah H. Sanusi yang juga bendahara ketakmiran masjid Baiturrohim.
Salah satu pelajaran dari pengajian kitab Nashoihul Ibad sore ini menjelaskan bahwa dunia diibaratkan dengan bangkai, dan makhluk yang hobi memperebutkan bangkai adalah anjing. Walau bisa jadi dunia tersebut dapat terejawantah dalam bentuk yang berbagai rupa seperti aneka fasilitas kehidupan yang memudahkan kehidupan manusia. Namun bila berbagai fasilitas ini hanyalah menjadi pemuas keinginan dan alat pemenuhan syahwat semata tanpa diposisikan sebagai media peribadatan, maka fasilitas itu berkategori hal duniawi. Sedangkan yang mengejar dan memperebutkannya –diibaratkan—sebagai anjing. Pada konteks menghindarkan diri dari pengibaratan inilah maka para warga nahdliyyin berusaha terus mengasah diri berguru pada para kyainya –yang salah satunya—melalui majelis zikir dan ta’lim seperti yang diadakan oleh ketakmiran masjid Baiturrohim Banjarkemantren tersebut.
“Ngajinya terasa lama ya,” kata salah seorang jamaah pengajian pada orang di sebelahnya. “Mungkin karena ngaji dengan perut lapar Cak Kaji,” sahut orang lainnya. Moga Allah SWT melimpahkan rahmat dan maghfiroh-Nya kepada kita semua. Aamiin. ©

A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah