BUDURAN. “Njenengan percaya atau tidak. Dalam sepekan biasanya paling tidak dua kali saya membuat mujahir kelo kuning. Njenengan tanyakan pada beliau ini. Ya kita nikmati bareng-bareng. Kadang saya campur dengan udang, nila, keting, atau cukil.” Begitulah kalimat Pakde Sholeh saat memberikan penghormatan terhadap para huffadz melaksanakan khotmil Qur’an bil-ghoib pada Ahad (5/11) ba’da dluhur di kantor MWCNU Buduran. Pakde Sholeh adalah orang yang menjadi semacam “kepala kantor” di MWCNU Buduran. Mungkin waktunya lebihs sering dihabiskan di kantor kebanggaan warga NU se-Buduran ini daripada di kediamannya sendiri.
Ketika kepanitiaan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Hari Santri Nasional (HSN) 2023 dibentuk dan intensif melakukan koordinasi di MWCNU Buduran “corner”, terutama bagi panitia yang mulai hobi nge-camp di kantor pinggir jalan Jawa desa Wadungasih itu. Maka kemungkinan besar pernah –atau lebih tepat sering—menikmati kelo kuning mujair produksi Pakde Sholeh. Tentu hal itu berlaku bukan hanya bagi kepanitiaan itu saja, melainkan hampir semua aktifis NU Buduran yang keluar-masuk kantor MWCNU bisa dipastikan pernah menikmati kelo kuning mujair masakan Pakde Sholeh.
Sebatas informasi, kelo kuning mujair adalah semacam sayuran berwarna kuning dengan bahan utamanya adalah ikan mujair. Tapi kelo kuning tidak selalu harus menggunakan mujair, karena bisa diganti ikan lain. Ikan mujair sendiri merupakan haril eksperimentasi yang sangat luar biasa dari seorang tokoh bernama Mbah Modjair, sehingga beliau mendapat penghargaan dari pemerintah republik Indonesia pada tahun 1951, dan penghargaan internasional dari Konsul Komite Perikanan Indo Pasifik pada tahun 1953.
Tiap daerah memiliki ciri khas dalam pembuatan sayur kelo kuning ini, tapi pada umumnya di daerah pesisir utara Jawa memiliki campuran cita rasa asam dan pedas sebagai penghantar kesegaran kuah yang luar biasa istimewa. Mengapa kelo kuning mujair versi Pakde Sholeh ini terasa sangat nikmat? Bisa jadi karena memang beliaunya koki handal yang sedang menyembunyikan skill-nya, atau bahan-bahan pilihan yang digunakannya istimewa. Atau bisa juga karena dihidangkan pada orang yang memang sedang dilanda kelaparan, ditambah dengan ketulusan yang luar biasa dari Pakde Sholeh itu sendiri yang menjadi bumbu tersendiri dari kelo kuning olahannya.
Nah, mungkin tidak banyak orang tahu bahwa kelo kuning Pakde Sholeh inilah yang kerap hadir “bi-ghoiri la yahtasib” menjadi jawaban atas rasa lapar beberapa panitia yang kerap sampai dini hari berada di MWCNU “corner” tersebut. Bila perkumpulan tersebut menjadi sebab terlaksananya berbagai agenda kepanitiaan HSN 2023 ini, maka tidak dapat dipungkiri kelo kuning Pakde Sholeh memiliki andil besar di dalamnya. Paling tidak, pada saat siang setelah pembacaan doa khotmil Qur’an bil-ghoib tersebut, hampir semua huffadz “tanduk” makan siangnya. Bahkan ada yang nyeletuk pada yang lainnya, “sudah Cak, kucingnya ndak kebagian.” Celetuk-an itu sebagai gurauan sekaligus sindiran karena yang dituju seakan mau melumat habis mujair di hadapannya sampai tulang-tulangnya pun tidak disisakan untuk kucing. Matur nuwun Pakde Sholeh, moga istiqomah.(c)
A’wan MWC NU Buduran | Tukang Sapu Langgar
Mahabbah gak kenal wayah
Luar biasa matur nuwun pak de, Kulo nggih sering merasakan kelo kuningnya, pancen ettoop dan semoga pak de Soleh mendapatkan keberkahan dan pahala yg berlipat ganda. AMIN