Ziarah kubur merupakan salah satu amalan warisan Nahdlatul Ulama.Awalnya dilarang Rasulullah karena kondisi masyarakat Arab saat berduka waktu itu terlalu parah.
Setelah semakin bertahap iman umat Islam semakin tebal dan mengerti hakikat kehidupan, Rasulullah menganjurkan untuk berziarah kubur seperti yang dilakukan hingga sekarang karena memiliki banyak keistimewaan. Di antaranya adalah mengingat kematian, bahwa setiap jiwa pada akhirnya juga akan mati.
Orang yang tidak berkenan untuk ziarah kubur termasuk orang yang sombong. Dengan berziarah kubur, orang akan mengingat kenangan dengan si mayyit saat dia masih hidup, dan peziarah cepat atau lambat pasti akan menyusulnya.
Peziarah bisa mengambil pelajaran bahwa tidak akan ada yang penting dalam kehidupan dan berguna setelah kematian selain ketakwaan. Terlebih apabila kematian datang, tidak bisa dinego sama sekali.
Tidak ada yang bisa atau mau menemani seseorang dalam kubur. Harta, benda, jabatan, anak, bahkan istri yang dicintai sekalipun selain amal perbuatan sendiri.
Kalau manusia senantiasa mengingat tentang hal ini, maka tidak akan mungkin sempat untuk memikirkan kesenangan sesaat, berbuat dosa, keburukan orang lain, melainkan hanya keburukan diri sendiri dan senantiasa memperbaikinya.
Dengan demikian, peziarah juga akan mengingat akan datangnya akhirat serta balasan yang akan diterima di sana. Terlebih lagi catatan amal tertulis sangat rinci setiap detailnya dan balasannya sudah siap menanti.
Jika peziarah senantiasa mengingat tentang hal ini, maka satu-satunya yang akan menjadi fokus dan tujuannya hanyalah akhirat belaka. Sedangkan dunia justru hanya akan menjadi sarananya untuk menggapai akhirat, bukan sebagai tujuan.
Sedangkan tata caranya adalah dengan mendoakan mayyit khususnya beserta seluruh orang beriman pada umumnya. Terutama dianjurkan kepada mayyit yang soleh semasa hidupnya, untuk bertabarruk dengan meneladani biografinya.
Apalagi jika mayit soleh itu adalah ulama’, karena ulama’ merupakan pewaris Rasulullah dan para nabi. Dan berarti ulama’ adalah auliya’, tapi auliya’ belum tentu ulama’.
Karena itu sudah selayaknya warisan adat baik ini dipertahankan seraya mengadopsi dengan adat baru yang lebih baik. Yang jahat, yang baik, yang durhaka, dan yang soleh akan mati semua. Maka sudah seharusnya kita menjadi baik dan soleh agar tidak termasuk dalam kelompok merugi di akhirat nanti.
Dirangkum dari kajian KH. Abdul Karim Anis, Rais Syuriah PRNU Sidomulyo di Majelis Dzikir dan Sholawat PR GP Ansor Sidomulyo. (ham)