ORANG TAKUT, ORANG SENANG, DAN ORANG ASING MENURUT DAWUH DZUN NUN AL-MISHRI

ORANG TAKUT, ORANG SENANG, DAN ORANG ASING MENURUT DAWUH DZUN NUN AL-MISHRI

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyyah Buduran

 

Kullu khoo-ifin haaribun wa kullu rooghibin thoolibun wa kullu aanisin billaahi mustauhisyun bil kholqi.” Setiap orang yang merasa takut pasti akan lari, setiap orang yang senang pasti akan mencari, dan setiap orang dekat dengan Allah SWT pasti akan merasa asing dengan makhluk.

 

Kalimat di atas adalah dawuh riwayat Dzun Nun al-Mishri yang dikutip oleh Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi pada kitab Nasho-ihul Ibad bagian tsulatsiy dawuh yang ke-50. Dzun Nun al-Mishri bernama Tsauban bin Ibrahim, ada yang menyebutnya Abdul Faidh atau al-Faidh bin Ibrahim dan berkebangsaan Sudan. Gelar Dzun Nun dilatarbelakangi oleh peristiwa saat beliau naik sebuah kapal, lalu kapal itu kandas. Atas anugerah serta izin Allah SWT Dzun Nun shalat di permukaan air lalu Allah SWT menganugerahinya kemampuan “mengangkat” kapal tersebut sehingga penumpangnya selamat. Versi lain menyebutkan bahwa suatu saat beliau menumpang sebuah kapal yang di dalamnya juga ada pedagang kaya yang membawa permata yang amat banyak, dan kemudian permata pedagang itu hilang. Dzun Nun al-Mishri dituduh penyebab hilangnya permata tersebut dan mendapatkan penganiayaan. Lalu atas anugerah dan izin Allah SWT muncullah ikan Nun dalam jumlah yang banyak mendekati kapal tersebut. Lalu ikan-ikan itu membuka mulutnya dan ternyata di dalamnya berisi permata yang jauh lebih besar dan indah dari permata yang hilang. Dzun Nun mengambil salah satu permata dan menyerahkan pada orang yang mengaku kehilangan tersebut. Sejak itulah beliau diberi gelar Dzun Nun. Syaikh Abul Qasim al-Qusyairi pernah menceritakan Dzun Nun al-Mishri dalam al-Risalah al-Qusyairiyah mengutip Syaikh Salim al-Maghribi. Cerita ini tentang pertaubatan Dzun Nun al-Mishri melalui washilah seekor burung jatuh dari sangkarnya dalam kondisi tak berdaya, namun Allah SWT menjamin rizki burung tersebut melalui cara yang tak terduga. Beliau iltiqo’ ilaa rofiqil a’la pada tahun 245 H, ada yang mengatakan tahun 146 H dan dimakamkan di dekat makam sahabat Amr bin Ash RA.

Dikatakan bahwa orang yang merasa takut atas sesuatu pasti akan lari menjauhi apa yang ditakutinya. Tujuannya jelas, yaitu terhindarkan diri atas bahaya dari yang ditakutinya. Inilah gambaran bila seseorang takut dengan akan siksa Allah SWT, maka pantaslah bagi orang itu untuk menghindari segala perbuatan yang berpotensi mendatangkan siksa Allah SWT padanya. Akan tetapi, upaya menghindarkan diri dari perbuatan dosa yang mengakibatkan dirinya mendapat siksa, tidak lantas kemudian menghindarkan dirinya dari Allah SWT. Artinya, pada saat orang itu berupaya menjauhi dosa, di saat itu juga dia sedang berupaya mendekatkan dirinya pada Allah SWT. Karena memang mengindari dosa pada hakekatnya merupakan wujud mendekatkan diri pada Allah SWT. Takut siksa, ekspresinya lari dari dosa, takut (bertaqwa) pada Allah SWT ekspresinya muroqobah pada Allah SWT. Dalam kalimat yang berbeda, lari dari dosa karena takut akan siksa Allah SWT merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dikatakan juga bila orang yang senang, pasti akan mencari. Maksudnya, orang yang senang (mendapatkan atau masuk) surga, maka sudah sepantasnya ia akan mencari (melakukan) berbagai macam kebajikan agar mendapat anugerah dimasukkan Allah SWT di surgaNya. Perlu dipahami bahwa derajat senangnya seseorang mendapatkan/masuk surga tidak bisa disamakan dengan derajat senangnya seorang mukmin kepada Allah SWT. Bagaimanapun juga surga adalah imbalan, kemampuan mendapatkan dan memasukinya adalah karunia dan rahmat Allah SWT pada hambaNya, bukan ditentukan oleh amaliyah manusia itu sendiri. Artinya, dawuh Dzun Nun al-Mishri itu sebagai pelajaran bagi seorang mukmin untuk tetap dalam rel al-salik ilallaah (orang berjalan menuju Allah SWT) yang di dalamnya –dibenarkan—bercita-cita mendapatkan rahmat memasuki surga. Ghoyatul wushul yang utama adalah Allah SWT, sedangkan mendapatkan surga adalah bonus dari upaya tersebut. Di sini –melalui dawuh Dzun Nun al-Mishri—Syaikh Nawawi mengajarkan bahwa jangan sampai seorang al-salik ilallaah lupa dan alpa tujuan utamanya –yaitu Allah SWT—tanpa meninggalkan ikhtiar lahir-batin –atau dalam istilah lain menterjemahkan pesulukannya tersebut dengan berusaha menjalankan perintah sekaligus meninggalkan larangan Allah SWT—yang pencapaiannya nanti di akhirat adalah dimasukkan surga. Dalam kalimat yang berbeda, mencari pahala melalui giat beribadah –lillahi ta’alaa—karena senang nanti akan dimasukkan surga –atas rahmat Allah SWT—juga merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dikatakan berikutnya jika orang itu merasa dekat dengan Allah SWT, maka ia akan merasa asing dengan makhluk. Bahkan dalam keterangan lain orang semacam ini akan merasa asing dengan dirinya sendiri. Dawuh ini dapat dimaknai bahwa ketika seseorang sudah memiliki kedekatan spesial dan mengalami al-unsu billaah (marem dengan Allah SWT), maka ia akan merasa terasing dengan segala intervensi makhluk karena cukuplah perhatian Allah SWT baginya. Intervensi itu bisa berbentuk pujian atau cacian, kemudahan atau tekanan, dan bahkan kebaikan atau keburukan dari makhluk.

Cara mudah memahami dawuh bagian akhir ini, bisa dengan dua aspek. Pertama, memahami bahwa maksud dari dawuhmerasa dekat dengan Allah SWT” adalah bila seseorang sudah merasakan kedekatan dan bahkan merasa “akrab” dengan Allah SWT, maka dalam kesadaran spiritual personalnya hanya akan ada Allah SWT sebagai tujuan segalanya. Tiada lagi –selain Allah SWT—yang kemudian menjadi penting untuk menjadi tujuan, orientasi, dan pencapaian. Kedua, memahami bahwa maksud “merasa asing dari makhluk” adalah tiada lagi kepentingan untuk mendapatkan applause dan standing ovation dari publik ketika harus tampil gagah di tengah masyarakat. Tiada lagi harapan untuk didengar, diperhatikan, ditaati, dipuji, dan diluhurkan oleh siapapun dan apapun karena kesadaran spiritual bathiniyahnya sudah full terisi dengan Allah SWT. Tiada lagi kepentingan untuk mendapat banyaknya pengikut dengan tujuan mendapatkan puji-puja bagi dirinya bak berhala di zaman jahiliyyah yang dianggap mampu menentukan segalanya. Merasa asing dari berorientasi, bertujuan, atau berkepentingan pada makhluk. Tapi “merasa asing dengan makhluk” di sini bukan bermaksud menghindarkan diri dari makhluk. Bukan juga bermakna menghilangkan diri dari kewajiban sosial dan tugas-tugas kemanusiaan yang telah digariskan Allah SWT pada diri. Bukan juga bermakna berlepas tangan dan bersikap abai terhadap makhluk. Maka makna “merasa asing dengan makhluk” di sini adalah melepaskan keterlibatan tujuan peribadatan dari yang selain Allah SWT, sembari tetap memperlakukan makhluk ma’al adab wal akhlak secara proporsional sebagaimana yang Allah SWT syariatkan.

Memahami dawuh Dzun Nun al-Mishri di bagian akhir ini, maka sejatinya orang yang merasa memiliki kedekatan kepada Allah SWT justru akan memiliki sikap sosial yang welas-asih terhadap sesama dan lingkungan sekitarnya. Bila perasaan dekat kepada Allah SWT itu diwadahi dengan syukur dan sabar –yang oleh Kanjeng Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam diilustrasikan sebagai dua bagian dari iman–, maka ekspresi sosial dari aanisun billaahi tersebut adalah bersyukur dan bersabar dengan segala sesuatu yang Allah SWT tetapkan dengan orang tersebut. Aplikasi dari bersyukur dan bersabar pada makhluk adalah dengan berusaha menjalankan mu’asyaroh dan mu’amalah pada mereka secara proporsional sesuai dengan koridor syariat.

Lebih sederhana dan spesifik, ketika meneladani dawuh terakhir dari Dzun Nun al-Mishri dalam konteks kita sebagai warga NU, maka ekspresinya dengan memperkuat mutu muroqobah ilallaah dengan belajar menjadi santri yang ittiba’ wal khidmah pada ulama NU. Bila Allah SWT menakdirkan kita sebagai pengurus NU, maka replikasinya dengan memperkuat muroqobah ilallaah seraya memperbaiki kualitas khidmah pada jam’iyyah dan jama’ah NU, dan tentunya menghindarkan diri agar tidak menjadi pengurus yang malah jadi “urusan”. Bila merasa bukan –atau belum—menjadi warga atau pengurus NU, maka silahkan memperkuat muroqobah ilallaah seraya memperbaiki kualitas ukhuwah kita dalam konteks basyariyah, wathoniyah, dan Islamiyah. Catatan ini bukan bermaksud dan bertujuan untuk menggurui, menyindir, dan mengevaluasi siapapun atau apapun. Namun sebatas bentuk peringatan bagi diri sendiri sekaligus pengharapan semoga Allah SWT memudahkan upaya muroqobah ilallaah seraya tetap mengerti dan berusaha memenuhi hak-hak sesama. Bila pun ada yang tak enak hati karena merasa tergurui, tersindir, dan terevaluasi, penulis mohon maaf dan ridla Panjenengan semua.

Dawuh Dzun Nun al-Mishri yang lain dikutip oleh Muhammad Abu Bakar al-Kalabadzi dalam kitab al-Ta’riif li Madzhabi Ahli al-Tasawwuf pada bab 46 tentang keyakinan. Isi dawuhnya adalah: “setiap yang dapat kau lihat dengan pandangan matamu akan melahirkan ilmu, dan setiap yang dapat kau ketahui dengan hatimu akan melakirkan keyakinan.” Memahami NU, pengurus, dan jamaahnya dengan pandangan lahir –saja—, akan mendapatkan asupan ilmu-ilmu baru yang memuliakan kehidupan. Apalagi jika berkenan memahami NU, pengurus, dan jamaahnya dengan pandangan hati yang bersih, maka akan terbuka pintu kesempatan untuk mendapatkan tambahan nutrisi keyakinan yang menguatkan kesadaran batiniyah pelakunya. Kiranya bila tiap kita ditempatkan Allah SWT pada salah satu tempat dari tiga posisi di atas (orang takut, orang senang, dan orang asing), melalui rumus pandangan diri dari Dzun Nun al-Mishri yang dikutip Muhammad Abu Bakar al-Kalabadzi tersebut, maka kesemua posisi itu akan menjadi wahana pertambahan ilmu dan keyakinan diri kita pada rel pendekatan diri kepada Allah SWT.

Bertawassul pada tiap nama-nama agung yang ada di tulisan ini, penulis memohon kepada Allah SWT semoga Allah SWT Yang Maha Rahman dan Maha Rahim mengampuni dan meridlai kita semua. Aamiin. Laa ilaaha illa Anta subhanaka inniy kuntu minadhdholimiin. Wallaahu a’lam bishshawaab.