PARA WANITA AGUNG

PARA WANITA AGUNG

Oleh: Chabib Musthofa

Mudir JATMAN Idaroh Ghusniyyah Buduran

 

Ketika memperhatikan –tanpa berupanya membandingkan dan bahkan membuat disparitas—antara jamaah wanita dan pria yang menghiasi berbagai pelaksanaan ubudiyah di masjid atau langgar utamanya shalat maktubah, maka tampak ada perbedaan antara keduanya. Apalagi jika menelisik karakteristik dua kelompok yang berbeda secara gender ini pada ruang-ruang ubudiyah sosial kultural seperti jam’iyah, organisasi, dan aneka kelompok rutinan sosial keagamaan yang lebih luas. Tentu penelisikan ini –sekali lagi—bukan untuk membuat demarkasi antara keduanya, apalagi memposisikan keduanya pada sisi yang saling berlawanan secara vis a vis.

Jumat (29/03/24) ketika melihat pelaksanaan shalat isya, tarawih, dan witir di musholla Al-Falah Pandean Kidul Desa Banjarkemantren, faktanya jamaah perempuan secara kuantitatif lebih banyak dari jamaah pria. Tiap bilal tarawih selesai mengumandangkan aba-aba untuk pelaksanaan sesi shalat tarawih, jamaah perempuan terlihat lebih tanggap dengan berdiri dan bersiap melaksanakan shalat. Bahkan dari gesture-nya tak terlihat keengganan atau keluhan, walau malam itu tempo shalat tarawih terasa lebih cepat. Tidak banyak bergaya, berekspresi, dan bersuara, namun mantap dalam ibadahnya. Paling tidak inilah yang tampak secara lahir di musholla yang pada atas pangimamannya terpahat kaligrafi kalimat tauhid dan berangka tahun 1425 H dalam bentuk huruf Arab.

Fakta lain di dusun yang sama, Pandean desa Banjarkemantren, akan tetapi di wilayah RT 9, tepatnya di musholla al-Hidayah. Saat Ramadlan tiap ba’da subuh jamaah perempuan mengadakan tadarrus al-Qur’an, sedang bagi jamaah pria bertadarrus di saat setelah shalat tarawih sampai sekitar jam 22.00 dengan menggunakan pengeras suara. Namun seringnya tadarrus saat mala mini sampai jam 23.00 dan bahkan jam 24.00 tanpa pengeras suara. Tadarrus jamaah perempuan saat pagi dilaksanakan ba’da subuh sampai sekitar jam 08.00 dan terkadang sampai jam 09.00. Prestasi jamaah lelaki saat tadarrus semalam maksimal mampu mencapai 4 juz, itupun dengan berbagai fasilitas makanan dan minuman yang sukarela disediakan warga sekitar. Sedangkan jamaah perempuan saat tadarrus pagi bisa mencapai 5 bahkan 6 juz. Itupun tanpa makan dan minum karena sudah memasuki waktu puasa.

Pada kasus yang lain, jam’iyyah misalnya. Kaprah dan umum jika jam’iyyah para bapak dilaksanakan saat malam. Biasanya ba’da isya atau antara maghrib dan isya’ baik di rumah-rumah secara bergiliran, atau di satu titik kumpul yang disepakati. Berbeda dengan itu, jika sedikit mengobservasi jam’iyyah ibu-ibu, ada yang dilaksanakan pagi saat waktu duha, ada yang ba’da dluhur, ada yang ba’da ashar, dan tentunya ada yang ba’da isya. Argumentasi yang mengatakan bahwa para pria saat siang bekerja, sehingga kesempatan jam’iyyah hanya malam, berbeda dengan ibu-ibu yang punya waktu lebih “longgar”. Tentu alasan ini bisa diterima. Namun argumentasi ini juga bisa dilawan denga fakta bahwa sangat langka menjumpai seorang bapak mengajak –tentu dalam rangka mentarbiyah—anaknya pada kegiatan jam’iyyah yang diikutinya. Beda dengan para ibu yang sangat sering kita dapati membawa anak-anaknya ketika setia mengikuti kegiatan jam’iyyahnya. Artinya, para perempuan itu tidak meninggalkan tanggung jawab domestiknya sebagai ibu bagi anak-anaknya di saat mereka juga menjaga kesetiaan pada jam’iyyahnya.

Ternyata sanad ketangguhan wanita ini memang secara historis telah diwariskan oleh para generasi pendahulu. Sebutlah Sayyidah Sumayyah binti Khayyath, istri dari Sayyidina Yasir bin Amir, ibunda dari Sayyidina Ammar bin Yasir radliyallahu ‘anhum ajmaiin. Sayyidah Sumayyah binti Khayyat RA inilah yang menjadi syahidah pertama dalam Islam atas keberaniannya “membalas” pelecehan Abu Jahal di masa awal Islam didakwahkan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Mungkin kaum pria bisa berlindung dibalik kepahlawanan sekian tokoh yang menjadi raja, panglima, jawara, pendekar, dan kesatria yang berhasil menaklukkan jutaan pasukan dan ribuan kekaisaran. Namun jangan lupa bahwa syahidah pertama yang mendahului prestasi mereka adalah seorang hamba sahaya yang bernama Sayyidah Sumayyah bin Khayyat RA. Rahim Sayyidah binti Khayyat RA inilah yang mengandung seorang sahabat besar yaitu Sayyidina Ammar bin Yasir RA. Bahkan, –sesuai beberapa akhbar—sahabat inilah yang menjadi “indikator penentu kebenaran” dari ikhtilaf dari kelompok Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA dan Sayyidina Muawiyyah bin Abi Sufyan RA pasca tragedi syahidnya Sayyidina Utsman bin Affan RA dalam keadaan berpuasa dan membaca al-Quran.

Pada periode berikutnya, kita mengenal nama besar seperti Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar RA. Wanita tangguh kakak yang lebih tua 10 tahun dari Sayyidah Aisyah binti Abu Bakar RA inilah yang menjalani garis takdirnya sebagai khadimah dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan bapaknya, Sayyidina Abu Bakar RA ketika peristiwa hijrah yang bersejarah. Wanita inilah yang bersama saudaranya bernama Abdullah bin Abu Bakar RA serta seorang penggembala bernama Amir bin Fuhayra menjadi semacam “Paspampres” saat hijrah. Amir bin Fuhayra merupakan seorang penggembala yang bertugas menyamarkan jejak, sedang Sayyid Abdullah bin Abu Bakar RA dan Sayyidah Asman binti Abu Bakar RA bertugas menyuplai logistik dan satu lagi yang tak sangat keren, menjadi spionase. Beliaulah Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar RA yang diberi gelar oleh Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dengan Dzatun Nithagaini (orang yang memiliki dua ikat pinggang). Beliau bersuamikan Sayyidina Zubair bin Awwam RA, sahabat setia yang Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sendiri menggelarinya dengan Hawariy (pengikut/pembela setia) sesuai yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya. Sebuah posisi yang teramat istimewa. Pangkat Hawariy ini dalam tradisi sufistik ditandai dengan dua hal, yaitu kemampuan membela agama Allah SWT dengan ilmu dan hujjah, serta kemampuan membela agama Allah SWT dengan pedang. Kedua kemampuan itu mampu dijalankan oleh seorang yang memiliki maqom spiritual sebagai Hawariy, sehingga pada beberapa literatur tasawuf dikenal istilah Wali Hawariyyun. Ulama sekaligus jawara, dan ini tentu langka.

Dari pernikahan Sayyidina Zubair bin Awwam RA dan Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar RA ini lahir tokoh yang menjadi rujukan para sahabat dan tabi’in di masanya, yaitu Sayyidina Abdullah bin Zubair RA. Ketika umat Islam sampai di Yastrib, muncul isu bahwa orang Yahudi yang gemar melakukan perilaku mistik meneluh para wanita Muhajirin sehingga mereka mandul. Pada fakta disebutkan tidak ada bayi yang lahir dari para Muhajirin sampai waktu yang lama. Sehingga isu ini “seolah-olah” dianggap kebenaran, sedang di sisi lain menimbulkan keraguan atas kebenaran perjuangan kaum Muhajirin. Sampai Sayyidah Asma binti Abu Bakar RA mengandung dan melahirkan Sayyidina Abdullah bin Zubair RA. Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sendiri sangat bersuka cita atas kelahiran ini. Beliau bahkan melakukan tahniq dan mendoakan sang bayi. Sayyidina Abdullah bin Zubair RA, putera Sayyidah Asma’ binti Abu Bakar RA inilah yang menjadi bayi yang pertama kali terlahir dari Muhajirin setelah kedatangan mereka di Yatsrib. Kelahiran inilah yang mematahkan argumentasi bahwa orang-orang Yahudi “lebih sakti” dari orang Islam.

Terakhir, sebutlah Sayyidah Zainab binti Ali RA. Saudara kandung Sayyidina Hasan bin Ali RA dan Sayyidina Husain bin Ali RA, puteri ketiga dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA dengan Sayyidah Fatimah binti Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam. Beliaulah yang menjadi pelindung sekaligus pengasuh dari Sayyid Ali Zainal Abidin, putera Sayyidina Husain bin Ali RA sekaligus keponakan beliau yang selamat dalam peristiwa pembantaian di Karbala. Wanita keturunan Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam inilah yang melindungi Sayyid Ali Zainal Abidin bak seorang raja dan panglima, mendidik bak seorang murobbi, mengajari lautan ilmu bak seorang mu’allim, melatih trah pejuang layaknya al-da’i ilallah, dan juga menjadi pembela satu-satunya di saat para keluarga  nabi yang mulia dikejar-kejar, dihabisi, dan dimusnahkan oleh kezaliman saat itu. Beliau ini ulama wanita guru dari para tabi’in, orasinya mampu melumpuhkan sepasukan pembantai yang dikirim Yazid bin Muawiyyah, istri dari Sayyidina Abdullah bin Ja’far RA ini kharismanya mampu menyedot tangisan penduduk Madinah dan Mesir, dan af’aliyah-ahwaliyahnya kesehariannya menjadi teladan abadi para dzurriyyah Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam yang mulia.

Kiranya tiga tokoh panutan yang mulia itu hanya sedikit dari sekian banyak tokoh perempuan yang menghiasi kejayaan Islam sehingga kita bisa berada di bawah panji kemuliannya. Tentu pada beliau-beliau inilah kita berkaca untuk melihat kekurangan diri sembari terus berusaha memperbaikinya –tentu dalam kapasitas kita sebagai umat awam—yang selalu setia pada para ulama NU. Melalui beliau-beliau itulah kita berharap agar muncul Sayyidah Sumayyah baru, Sayyidah Asma’ baru, Sayyidah Zainab baru dari kader-kader kita di Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU, Wathonah JATMAN, dan keluarga-keluarga NU yang tentu dalam kadar kemuliaan dan bentuk yang berbeda dan tidak akan bisa sepadan dengan para wanita agung tersebut. Semoga Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU, Wathonah JATMAN, dan tiap keluarga kita menjadi –semacam—incubator mujahidin wa mujahidah li i’laali kalimatillaahi wa rosuulihi ala manhaji wa thoriqoti ahlussunnah wal jamaah al-nahdliyyah. Aamiin.