TRADISI NYOWANKAN ANAK PADA KYAI: OLEH-OLEH MUJAHADAH MALAM 18 RAMADLAN

GRAHA NUSANTARA. Secara berurutan beberapa pengurus MWCNU Buduran rawuh di kantor dan langsung menuju Graha Nusantara pada Kamis malam Jumat (28/03/24). Sedianya mereka akan bersama-sama melakukan mujahadah sebagai bentuk ikhtiar batin dalam mentarbiyah diri berkhidmah di NU. KH. Jalisil Ulama malam itu rawuh dan tampak lebih gagah berwibawa dengan mengenakan jaz warna turquoise. Kyai Machrus, Gus Hasan Fahmi, Kyai Jakfar dan beberapa pengurus serta aktifis NU lainnya rawuh setelahnya dan langsung menuju Graha Nusantara.

Tidak berselang lama kemudian, Pakde Sholeh yang sehari-hari berkhidmah ngopeni kantor kebanggaan warga NU se-Buduran datang dengan menenteng ceret berisi kopi dan wedang jahe. Mereka membentuk jalsah melingkar dan memulai perbincangan seputar ke-NU-an. Setelah melewati waktu orang ngudut sebatang atau dua batang rokok, mereka menyiapkan diri dan bergegas memulai mujahadah. Seperti biasa, shalat tasbih dan shalat hajat dipimpin KH. Jalisil Ulama, sedang tawassul, istighotsah dan doa dipimpin oleh Kyai Machrus.

Menjelang masuk jam 12 malam mujahadah itu usai dan tanpa dikomando mereka semua kembali membentuk jalsah dengan formasi yang sama, yaitu melingkar tak begitu beraturan. Wedang kopi, wedang jahe, sinom, gayam rebus, aneka udut, dan beberapa kue sedekah dari Kyai Jakfar berada di tengah seolah-olah siap disantap sewaktu-waktu. Obrolan kembali dilanjutkan terkait dengan ke-NU-an, khususnya yang telah, sedang, dan mungkin akan terjadi di teritorial Buduran.

Salah satu topik obrolan adalah ketika mengulik kiprah dari para muharrik NU di Buduran. Bagaimana para tokoh tersebut sangat kuat mendampingi umat dengan istiqomah melakukan pengajian baik dalam bentuk pengajian kitab yang bersifat rutin maupun pengajian umum yang formatnya seperti ceramah. Di sisi lain beliau-beliau juga tidak absen dalam menjalankan organisasi NU di berbagai level kepengurusan khidmahnya, serta saling melakukan koordinasi atas segala sesuatu yang terjadi dalam dinamika keummatan. Para pendahulu itu juga tidak sedikitpun bergeser dari tradisi pesantren sebagai basis gerakan NU.

Perbincangan makin seru ketika KH. Jalisil Ulama mengisahkan kebiasaan orang-orang tua di masa lalu untuk nyowankan putera-puteri mereka pada kyai untuk dimintakan doa agar menjadi keturunan yang saleh-salehah. Bahkan, Kyai kharismatik yang dikaruniai suara berbobot ini berkenan mengisahkan pengalaman pribadinya masa kecil saat diajak abahnya sowan KH. Faishol Ridlwan, dan itu terjadi berkali-kali. Bahkan seringnya kesempatan mushofahah dan mulazamah yang beliau alami pada kyai ahli kitab kuning inilah yang kemudian mewarnai perjalanan hidupnya di kemudian hari.

Saya dulu jika tidak sering diajak abah sowan kyai-kyai, ndak tahu apa jadinya Gus. Saya yakin kita semua bisa begini ini yak arena barokah kyai-kyai,” dawuh beliau dengan semangat setelah nyeruput wedang kopi.

Agaknya, nyowankan anak pada kyai untuk dimintakan doa inilah yang menjadi salah satu obrolan menarik malam itu. Walau mungkin tradisi itu sudah mulai luntur, tapi aktifis NU yang jalsah tersebut seolah-olah bersepakat untuk terus menjaga adat khas dari warga nahdliyyin itu. Belum usai perbincangan tentang tradisi sowan kyai tersebut, tiba-tiba ada salah seorang sahabat GP Ansor yang datang dan menginformasikan bahwa ada tamu dari GP Ansor Krembung. Obrolan itu bubar tanpa dikomando dan semuanya bersikap seolah petugas terima tamu. Mujahadah malam 18 Ramadlan yang penuh berkah. ©